Kamis, 20 Mei 2010

Mengajar Dengan Mendongeng

Mengajar dengan mendongeng memang bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi jika para guru tidak memiliki bakat bertutur dan malas membaca, jelas mendongeng merupakan pekerjaan yang sulit. Tetapi jangan sesekali meremehkan efek dongeng terhadap tumbuh kembang anak, karena sebuah dongeng bahkan dapat ikut mempengaruhi karakter sebuah bangsa. Paling tidak itulah pendapat dari David McClelland dalam The Need for Achievement, ketika menyimpulkan bahwa dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada awal abad 16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pendengarnya dijangkiti penyakit butuh berprestasi. Cerita atau dongeng yang baik setidaknya akan membangkitkan motivasi anak untuk memiliki keinginan berprestasi, kemauan untuk bertahan hidup, dan kemauan untuk berkreasi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pertumbuhan ekonomi Inggris tumbuh dengan sangat mengesankan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

Bagaimana dengan dongeng-dongeng di negeri kita sendiri? Mungkin kita patut curiga mengapa, misalnya, setelah kurang lebih 63 tahun merdeka, Indonesia malah makin terpuruk, paling tidak jika indikatornya adalah banyaknya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Mungkinkah kondisi saat ini merupakan efek dari dongeng si kancil yang sering mencuri ketimun yang terkenal dan populer itu? Atau mungkinkah antara dongeng dan pemahaman agama masyarakat Indonesia tak berkorelasi sama sekali dengan realitas budaya kita? Pertanyaan-pertanyaan ini terasa relevan jika kita kaitkan dengan hasil riset McClelland di atas.

Edu teringat ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa ketika manusia dilahirkan ke muka bumi, maka dia tidak mengetahui sesuatu. Barulah kemudian secara bertahap Tuhan memberikan kita pendengaran (sam’a), penglihatan (abshar), dan hati (af’idah) untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Secara intrinsik kemampuan mendengar merupakan kemampuan pertama manusia yang diberikan oleh Tuhan, di mana sarana yang digunakan untuk dan agar kita dapat mencerna sebuah cerita atau kisah secara baik dan benar adalah pendengaran. Dengan demikian pendengaran merupakan media belajar paling penting, terutama dalam menuturkan kisah, cerita atau dongeng bagi siapa saja.

Jika diperhatikan dengan seksama selama 23 tahun masa pewahyuan al-Qur’an kepada Rasul Muhammad, maka terdapat kurang lebih 50% kandungan al-Qur’an berisi cerita-cerita yang perlu diperdengarkan ulang kepada siapa yang ingin kehidupannya selamat di dunia dan akhirat. Dalam bahasa al-Qur’an, Al-‘aqiba atau pelajaran ke belakang dengan cara belajar dari kesalahan umat-umat terdahulu merupakan ungkapan agar umat Islam selalu mau belajar dari cerita masa lalu. Dapatlah dipastikan bahwa Rasul Muhammad juga adalah seorang pencerita dan pendakwah yang baik.

Secara pedagogis, para guru dan pendidik harus yakin bahwa kemampuan bercerita atau mendongeng menjadi sebuah keniscayaan dalam setiap proses belajar mengajar. Kemampuan seorang guru dalam menarasikan setiap bahan ajar dengan proses bercerita yang menarik pasti akan mendapat respon yang positif dari setiap siswa. Unsur-unsur virus pengganggu untuk berprestasi sebagaimana disinggung tadi sangat mungkin terjadi, karena dongeng atau cerita merupakan salah satu alternatif media belajar di tengah hiruk pikuknya ragam tayangan dan games (permainan) yang membuat anak-anak terbius dan terpesona. Dongeng yang baik juga akan mampu menyampaikan pesan sosial secara langsung kepada seorang anak, selain alur ceritanya dapat membantu mengasah kemampuan emosional dan nalar anak-anak sekaligus. Belum lagi manfaat praktis dalam penguasaan kosa kata anak dalam berbahasa juga merupakan keuntungan lain dari sebuah dongeng atau cerita yang baik.

Bahkan sebagai sebuah metode pembelajaran yang efektif, bercerita, mendongeng, atau story telling juga memiliki peran yang siginifikan bagi proses perekrutan guru. Dalam sebuah micro-teaching process, kemampuan bercerita atau mendongeng seorang guru merupakan indikator utama dari beberapa indikator kelulusan lainnya. Karena itu amatlah wajar jika otoritas pendidikan kita dapat mempertimbangkan kemampuan mendongeng (story telling skills) sebagai salah satu syarat kelulusan seseorang untuk menjadi guru. Bahkan jika perlu kemampuan mendongeng ini juga dilatihkan kepada setiap guru pada masing-masing level, baik SD, SMP dan SMA yang ada sekarang ini.

Etos Kerja Dan Profesional Guru

Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat.

Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a. Ilmu pengetahuan tertentu
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c. Berkaitan dengan kepentingan umum

Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru. Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.

1. Orientasi Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.

2. Orientasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
1. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.
2. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
3. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
4. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
5. Penetuan kode etik.
6. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.

3. Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi

4. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.

Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.

Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional.

Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Disinilah peran Perguruan Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, kecuali selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan sebaliknya.

Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung tinggi profesi harus mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat mengawal profesi guru tersebut.

TANTANGAN PROFESI GURU
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.

Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.

Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu.

Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.

Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.

(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.

Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.

Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.

Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya.

(Karsidi, 2004) Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.

Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.

Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.

Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.

Selasa, 18 Mei 2010

Model Pembelajaran Rollenspiel (Bermain Peran)

Bermain peran (Rollenspiel) di dalam kelas, seperti yang diungkapkan oleh Ladousse (dalam Budden) dapat menambah variasi dalam mengajar, juga merupakan perubahan langkah dan kesempatan dalam pembentukan bahasa.

Selain itu, pembelajar juga memperoleh kesenangan dalam belajar. Scarcella dan Crookall, dikutip oleh Tompkins (1998) memberikan tiga teori yang menyatakan bahwa pembelajar akan belajar bahasa apabila: 1) mereka tahu bahwa bahasa tersebut dipakai secara komprehensif, karena mahasiswa ikut serta dalam komunikasi yang asli (genuine). 2) mereka dilibatkan secara aktif, 3) mereka memiliki afek positif (keinginan, perasaan dan sikap). Ketiga hal ini akan sangat membantu mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Bermain peran (role play) atau kegiatan kreatif dan imajinatif semacam ini akan merangsang mahasiswa untuk berimajinasi dan menantang mereka untuk berfikir dan berbicara (Sadow, dalam Tompkins; 1998).

Rollenspiel (Bermain Peran)

Dauvillier dan Lévy-Hillerich (2004) mengungkapkan, bahwa ketika kita mendengar kata Rollenspiel (bermain peran), muncul dalam benak kita beberapa definisi dari Rollenspiel. Secara umum kita mungkin akan mengartikannya sebagai kata umum dari semua jenis permainan pertunjukkan, mulai pantomim sampai simulasi. Dalam bahasa Inggris, role play memiliki beberapa istilah yang memiliki arti yang hampir sama, yakni simulation, game, role play, simulation-game, role-play simulation dan role-playing game (Crookall dan Oxford dalam Tompkins; 1998).

Menurut Peters, makna Rollenspiel sulit dijelaskan dengan hanya beberapa kata. Dibandingkan jenis permainan kelompok yang lain, Rollenspiel tidak memiliki satu tujuan yang sama (tunggal) yang biasanya harus dicapai oleh pelaku. Dalam Rollenspiel diperlukan kerjasama dan strategi bersama. Selain itu diperlukan juga seseorang yang disebut Spielleiter atau Meister yang mengatur pelaku, menggambarkan dan menghidupkan situasi, tetapi tidak terlibat dalam penyelesaian masalah. Rollenspiel tidak memiliki jalan permainan yang pasti, sistem permainan pun bisa bermacam-macam.

Rollenspiel merupakan satu metode sekaligus permainan yang menuntut pelakunya untuk memerankan satu peran atau pemikiran yang tidak nyata atau dibentuk. Pelaku bertindak seolah-oleh dia berada dalam dunia yang nyata. Alat bantu utama dalam permainan ini adalah fantasi dan imajinasi dari si pelaku sendiri dan juga aturan permainan yang membingkai permainan ini. Dalam Rollenspiel yang bersifat spontan atau bebas, aturan-aturan ini lebih bersifat implisit, sedangkan dalam permainan yang diatur secara ketat aturan ini biasanya berupa handbook, skenario atau semacamnya.

Jenis-jenis Rollenspiel

Pada dasarnya Rollenspiel terdiri atas dua tipe, yakni yang bersifat bebas spontan (frei assoziertes und spontanes Rollenspiel) dan yang diatur secara ketat (reglementiertes Rollenspiel). Rollenspiel yang bersifat bebas dan spontan lebih memberikan kebebasan kepada pelaku untuk berfantasi. Permainan ini dapat dilaksanakan, baik dengan maupun tanpa alat bantu. Sementara itu, Rollenspiel yang diatur memiliki dan harus mengikuti aturan-aturan, rancangan, Spielleiter atau skenario yang tetap (pasti). Semua jenis permainan ditampilkan sesuai dengan aturan-aturan pasti termasuk ke dalam kelompok ini. Menurut Budden, bermain peran merupakan kegiatan berbicara, baik ketika seseorang berperan sebagai orang lain, maupun ketika dia memposisikan diri dalam situasi yang tidak nyata. Pertama, sebagai orang lain; yang menarik dari permainan ini adalah siswa dapat menjadi orang lain yang mereka sukai untuk beberapa saat, misalnya presiden, raja, milyuner, dan lain sebagainya.

Model latihan Rollenspiel dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu individual role-playing exercises dan interactive role-playing exercises.

1. Individual Role-Playing Exercises

Salah satu contoh kegiatan pada model pertama ini adalah; mahasiswa meneliti dan menulis atau mempresentasikan masalah dengan cara dan sudut pandang karakter yang harus diperankan. Inilah yang menjadi tantangan dari model ini.

2. Interactive role-playing exercises

Model kedua yang paling umum dilakukan adalah drama, debat atau collaborative problem-solving exercises.

Manfaat Rollenspiel dalam Pembelajaran

Dalam proses belajar mengajar, Rollenspiel merupakan salah satu metode belajar komunikatif yang berorientasi pada pembelajar.

Dari pendapat beberapa ahli dapat dilihat beberapa manfaat penggunaan metode ini, antara lain:

1. Memberikan motivasi kepada mahasiwa

a. aspek kreatif lebih terlihat bermain daripada bekerja

b. tekanan/keharusan untuk memecahkan masalah atau konflik yang dialami karakter mereka lebih memberikan motivasi daripada tekanan ketika mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Tekanan semacam ini justru akan mereka temui dalam kehidupan nyata.

2. Menambah/memperkaya sistem pembelajaran tradisional

a. pengajar tidak hanya mencekoki mahasiswa dengan teori-teori

b. bermain peran menunjukkan dunia sebagai tempat yang kompleks dengan masalah-masalah yang kompleks pula. Masalah-masalah ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan satu jawaban sederhana yang diingat oleh mahasiswa

c. mahasiswa belajar bahwa keterampilan yang dipelajari secara terpisah, seperti keterampilan berkomunikasi, sering digunakan secara bersama-sama dalam menyelesaikan berbagai tugas/kegiatan dalam dunia nyata.

d. pembelajaran dengan bermain peran lebih mengutamakan nilai rasa, kreatifitas dan juga pengetahuan

e. latihan untuk mengutamakan pentingnya orang dan sudut pandang mereka merupakan bekal yang sangat penting bagi mahasiswa di dunia kerja mereka nantinya.

3. Keterampilan untuk kehidupan nyata

a. mahasiswa harus memahami kebutuhan dan perspektif orang-orang yang ada di sekelilingnya

b. bermain peran dapat meningkatkan kemampuan seperti self-awareness, problem-solving, komunikasi, inisiatif dan kerjasama

c. dalam penelitian atau problem-solving, mahasiswa lebih bisa menerima atau mengingat ilmu yang mereka kembangkan sendiri, daripada ilmu yang mereka terima dalam perkuliahan.

Menurut Jeremy Harmer yang dikutip Budden, penggunaan Rollenspiel dalam kegiatan pembelajaran dikarenakan alasan berikut:

1. Menyenangkan dan dapat menimbulkan motivasi bagi pembelajar

2. Semakin banyak kesempatan pembelajar untuk mengungkapkan diri

3. Memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berbicara

Dalam bermain peran, mahasiswa diberi peran dan situasi. Karena bermain peran menyerupai/meniru kehidupan yang sesungguhnya, maka bahasa yang digunakan akan berkembang, karena mereka harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi dan karakter yang diperankan. Hubungan peran antar mahasiswa dapat mengembangkan kompetensi sosiolinguistik mereka.

Bermain peran merupakan satu metode yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa asing kedua. Hal ini diungkapkan oleh Tompkins (1998). Metode ini memberikan semangat untuk berfikir dan berkreativitas serta memberikan kesempatan pembelajar untuk mengembangkan dan melatih keterampilan berbahasa dan kemampuan bertingkah laku dalam situasi yang lebih nyata. Bonnet (2000) dalam laporan hasil penelitiannya menulis, bahwa dengan bermain peran dan berdebat siswa meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk berbicara dan berdebat. Seperti pendapat Rebaud dan Sauvé yang dikutip Bonnet, permainan-permainan semacam ini dapat membantu dalam mengungkapkan pendapat, improvisasi, mendengar dan memahami sudut pandang orang lain.

Selain itu, permainan ini juga membantu siswa untuk mengembangkan sikap toleransi dan dalam membuat keputusan. Hal ini akan menuntun siswa untuk berfikir mandiri.

Kekurangan Rollenspiel

Menurut Blatner, Rollenspiel (role play) merupakan teknologi mengintensifkan dan mengakselerasikan pembelajaran. Selain memiliki banyak manfaat, metode ini juga memiliki kekurangan.

Kekurangan yang diungkap oleh Blatner antara lain:

1. Bermain peran merupakan satu metode belajar yang memungkinkan adanya improvisasi dari para pelakunya. Kemampuan untuk melakukan improvisasi ini menuntut rasa keamanan, sehingga pengajar harus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempelajari peran yang diberikan lebih dulu (warming-up process). Warming-up ini sebenarnya sudah merupakan bagian dari bermain peran itu sendiri, sehingga waktu akan terkurangi.

2. Adanya anggapan bahwa kemampuan interpersonal lebih mudah dari kemampuan teknis, sehingga mereka cenderung berfikir mampu melakukan Rollenspiel meski mereka belum pernah memperoleh materi/tema yang akan diperankan.

Kaplan, seperti dikutip Tompkins (1998) mengatakan bahwa bermain peran semata-mata hanya terfokus pada tema-tema yang ditentukan yang menggunakan kosakata untuk bidang-bidang tertentu, dan tidak menangkap spontanitas dalam percakapan sehari-hari. Selain itu mahasiswa juga mendapatkan tugas yang mungkin mereka tidak terbiasa.

Sabtu, 15 Mei 2010

Hakikat Strategi Pembelajaran

A. Pengertian Strategi Pembelajaran

Kompetensi Supervisi Akademik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pengawas satuan pendidikan. Kompetensi ini berkenaan dengan kemampuan pengawas dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah/satuan pendidikan. Secara spesifik pengawas satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk membantu guru dalam mengembangkan strategi pembelajaran, serta dapat memilih strategi yang tepat dalam kegiatan pembelajaran.


Strategi merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan strategi dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal (J. R. David, 1976). Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pe-manfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertenu. Dalam hal ini adalah tujuan pembelajaran.


Pada mulanya istilah strategi banyak digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenang-kan suatu peperangan. Sekarang, istilah strategi banyak digunakan dalam ber-bagai bidang kegiatan yang bertujuan memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Misalnya seorang manajer atau pimpinan perusahaan yang menginginkan keuntungan dan kesuksesan yang besar akan menerapkan suatu strategi dalam mencapai tujuannya itu, seorang pelatih akan tim basket akan menentukan strategi yang dianggap tepat untuk dapat memenangkan suatu pertandingan. Begitu juga seorang guru yang mengharapkan hasil baik dalam proses pembelajaran juga akan menerapkan suatu strategi agar hasil belajar siswanya mendapat prestasi yang terbaik.

Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kemp (1995). Dilain pihak Dick & Carey (1985) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembela-jaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.

Strategi pembelajaran merupakan hal yang perlu di perhatikan oleh seorang instruktur, guru, widyaiswara dalam proses pembelajaran. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni: (a) strategi pengorganisasian pembelajaran, (b) strategi penyampaian pembelajaran, dan (c) strategi pengelolaan pembelajaran.

1. Strategi Pengorganisasian Pembelajaran

Reigeluth, Bunderson dan Meril (1977) menyatakan strategi mengorganisasi isi pelajaran disebut sebagai struktural strategi, yang mengacu pada cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang berkaitan.

Strategi pengorganisasian, lebih lanjut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu strategi mikro dan strategi makro. Startegi mikro mengacu kepada metode untuk pengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada satu konsep, atau prosedur atau prinsip. Strategi makro mengacu kepada metode untuk mengorganisasi isi pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip.


Strategi makro berurusan dengan bagaimana memilih, menata urusan, membuat sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang saling berkaitan. Pemilihan isi berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, mengacu pada penentapan konsep apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Penataan urutan isi mengacu pada keputusan untuk menata dengan urutan tertentu konsep yang akan diajarkan. Pembuatan sintesis diantara konsep prosedur atau prinsip. Pembauatn rangkuman mengacu kepada keputusan tentang bagaimana cara melakukan tinjauan ulang konsep serta kaitan yang sudah diajarkan.

2. Strategi Penyampaian Pembelajaran.

Strategi penyampaian isi pembelajaran merupkan komponen variabel metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Fungsi strategi penyampaian pembelajaran adalah: (1) menyampaikan isi pembelajaran kepada pebelajar, dan (2) menyediakan informasi atau bahan-bahan yang diperlukan pebelajar untuk menampilkan unjuk kerja.

3. Strategi Pengelolaan Pembelajaran

Strategi pengelolaan pembelajaran merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara pebelajar dengan variabel metode pembelajaran lainnya. Strategi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian mana yang digunakan selama proses pembelajaran. Paling tidak, ada 3 (tiga) klasifikasi penting variabel strategi pengelolaan, yaitu penjadwalan, pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, dan motivasi.

3. Strategi Pengelolaan Pembelajaran

Strategi pengelolaan pembelajaran merupakan komponen variabel me-

tode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara pebelajar de-

ngan variabel metode pembelajaran lainnya. Strategi ini berkaitan dengan pe-

ngambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyam-

paian mana yang digunakan selama proses pembelajaran. Paling tidak, ada 3

(tiga) klasifikasi penting variabel strategi pengelolaan, yaitu penjadwalan,

pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, dan motivasi.

B. Beberapa Istilah dalam Strategi Pembelajaran

Beberapa istilah yang hampir sama dengan strategi yaitu metode, pendekatan, teknik atau taktik dalam pembelajaran.

1. Metode

Metode merupakan upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dengan demikian suatu strategi dapat dilaksanakan dengan berbagai metode.


2. Pendekatan (Approach)

Pendekatan (approach) merupakan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Roy Killen (1998) misalnya, mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.

3. Teknik

Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Misalnya, cara yang harus dilakukan agar metode ceramah berjalan efektif dan efisien. Dengan demikian, sebelum seseorang melakukan proses ceramah sebaiknya memperhatikan kondisi dan situasi. Misalnya, berceramah pada siang hari setelah makan siang dengan jumlah siswa yang banyak tentu saja akan berbeda jika ceramah itu dilakukan pada pagi hari dengan jumlah siswa yang terbatas.

4. Taktik

Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu. Taktik sifatnya lebih individual, walaupun dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah dalam situasi dan kondisi yang sama, sudah pasti mereka akan melakukannya secara berbeda, misalnya dalam taktik menggunakan ilustrasi atau menggunakan gaya bahasa agar materi yang disampaikan mudah dipahami.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu strategi pembela-jaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pendekatan yang digunakan, sedangkan bagaimana menjalankan strategi itu dapat ditetapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang dianggapnya relevan dengan metode, dan pengunaan teknik itu setiap guru memiliki taktik yang mungkin berbeda antara guru yang satu dengan yang lain.

C. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran

Konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi hal-hal: (1) menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku pebelajar; (2) menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, memilih prosedur, metode dan teknik belajar mengajar; dan (3) norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dikaitkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru, murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.


Menurut Newman dan Mogan strategi dasar setiap usaha meliputi empat masalah masing-masing adalah sebagai berikut.

  1. Pengidentifikasian dan penetapan spesifiakasi dan kualifikasi hasil yang harus dicapai dan menjadi sasaran usaha tersebut dengan mempertimbang-kan aspirasi masyarakat yang memerlukannya.
  2. Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang ampuh untuk mencapai sasaran.
  3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak awal sampai akhir.
  4. Pertimbangan dan penetapan tolok ukur dan ukuran baku yang akan digu-nakan untuk menilai keberhasilan usaha yang dilakukan.

Kalau diterapkan dalam konteks pembelajaran, keempat strategi dasar tersebut bisa diterjemahkan menjadi: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku kepribadian peserta didik yang diharapkan; (2) memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat; (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat, efektif, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh para guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya; dan (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria dan standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan system instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.


Dari uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar supaya sesuai dengan yang diharapkan.


Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang diingin-kan sebagai hasil belajar mengajar yang dilakukan. Dengan kata lain apa yang harus dijadikan sasaran dari kegiatan belajar mengajar tersebut. Sasaran ini harus dirumuskan secara jelas dan konkrit sehingga mudah dipahami oleh peserta didik. Perubahan perilaku dan kepribadian yang kita inginkan terjadi se-telah siswa mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar itu harus jelas, misal-nya dari tidak bisa membaca berubah menjadi dapat membaca. Suatu kegiat-an belajar mengajar tanpa sasaran yang jelas, berarti kegiatan tersebut dilakukan tanpa arah atau tujuan yang pasti. Lebih jauh suatu usaha atau kegiatan yang tidak punya arah atau tujuan pasti, dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan tidak tercapainya hasil yang diharapkan.


Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara kita memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang kita gunakan dalam memecahkan suatu kasus akan mempengaruhi hasilnya. Suatu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan berbeda, akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan kalau dalam cara pendekatannya menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian-pengertian, konsep, dan teori ekonomi tentang baik, benar, atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil menurut pengertian konsep dan teori antropologi. Juga akan tidak sama apa yang dikatakan baik, benar atau adil kalau kita menggunakan pendekatan agama karena pengertian, konsep, dan teori agama mengenai baik, benar atau adil itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya dengan carapendekatan terhadap kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran.


Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode atau teknik penyajian untuk memotivasi siswa agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau supaya murid-murid terdorong dan mampu berfikir bebas dan cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda hendaknya jangan menggunakan teknik penyajian yang sama.

Keempat, menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu program baru bisa diketahui keberhasilannya setelah dilakukan evaluasi.

Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar lain. Apa yang harus dinilai dan bagaimana penilaian itu harus dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang siswa dapat dikategorikan sebagai murid yang berhasil bisa dilihat dari berbagai segi. Bisa dilihat dari segi kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan, hubungan sosial, kepemimpinan, prestasi olah raga, keterampilan dan sebagainya atau dilihat dan berbagai aspek.


Keempat dasar strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh an-tara dasar yang satu dengan dasar yang lain saling menopang dan tidak bisa dipisahkan.

D. Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar

Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang, mulai dari yang sangat operasional dan konkret yakni tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai pada tujuan yang bersifat universal. Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran antara serta sasaran kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan.


Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem belajar mengajar meliputi sejumlah komponen antara lain tujuan pelajaran, bahan ajar, siswa yang menerima pelayanan belajar, guru, metode dan pendekatan, situasi, dan evaluasi kemajuan belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga sesama komponen itu terjadi kerjasama.


Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pe-ngajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak didik seperti: (1) kecerdasan dan bakat khusus, (2) prestasi sejak permulaan sekolah, (3) perkembangan jasmani dan kesehatan, (4) kecenderungan emosi dan karakternya, (5) sikap dan minat belajar, (6) cita-cita, (7) kebiasa-an belajar dan bekerja, (8) hobi dan penggunaan waktu senggang, (9) hubung-an sosial di sekolah dan di rumah, (10) latar belakang keluarga, (11) lingkung-an tempat tinggal, dan (12) sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik.


Usaha untuk memahami anak didik ini bisa dilakukan melalui evaluasi, selain itu guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, serta instansi yang terkait.

E. Tahapan Instruksional

Secara umum ada tiga pokok dalam strategi mengajar yakni tahap permulaan (prainstruksional), tahap pengajaran (instruksional), dan tahap penilaian dan tindak lanjut.

Ketiga tahapan ini harus ditempuh pada setiap saat melaksanakan pengajaran. Jika satu tahapan tersebut ditinggalkan, maka sebenarnya tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pengajaran.

1. Tahap Prainstruksional

Tahap prainstruksional adalah tahapan yang ditempuh guru pada saat ia memulai proses belajar dan mengajar. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru atau oleh siswa pada tahapan ini:

a) Guru menanyakan kehadiran siswa dan mencatat siapa yang tidak hadir. Kehadiran siswa dalam pengajaran, dapat dijadikan salah satu tolok ukur kemampuan guru mengajar. Tidak selalu ketidakhadiran siswa, disebabkan kondisi siswa yang bersangkutan (sakit, malas, bolos, dan lain-lain), tetapi bisa juga terjadi karena pengajaran dan guru tidak menyenangkan, sikapnya tidak disukai oleh siswa, atau karena tindakan guru pada waktu mengajar sebelumnya dianggap merugikan siswa (penilaian tidak adil, memberi hukuman yang menyebabkan frustasi, rendah diri dan lain-lain).

b) Bertanya kepada siswa, sampai dimana pembahasan pelajaran sebelumnya. Dengan demikian guru mengetahui ada tidaknya kebiasaan belajar siswa di rumahnya sendiri, setidak-tidaknya kesiapan siswa menghadapi pelajaran hari itu.

c) Mengajukan pertanyaan kepada siswa di kelas, atau siswa tertentu tentang bahan pelajaran yang sudah diberikan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sampai di mana pemahaman materi yang telah diberikan.

d) Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasainya dari pengajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya.

e) Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu (bahan pelajaran sebelumnya) secara singkat tapi mencakup semua bahan aspek yang telah dibahas sebelumnya.Hal ini dilakukan sebagai dasar bagi pelajaran yang akan dibahas hari berikutnya nanti, dan sebagai usaha dalam menciptakan kondisi belajar siswa.


Tujuan tahapan ini adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa terhadap bahan yang telah diterimanya, dan menumbuhkan kondisi belajar dalam hubungannya dengan pelajaran hari itu. Tahap prainstruksional dalam strategi mengajar mirip dengan kegiatan pemanasan dalam olah raga. Kegiatan ini akan mempengaruhi keberhasilan siswa.

2. Tahap Instruksional

Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau tahap inti, yakni tahapan memberikan bahan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Secara umum dapat diidentifikasi beberapa kegiatan sebagai berikut:

a) Menjelaskan pada siswa tujuan pengajaran yang harus dicapai siswa.

b) Menuliskan pokok materi yang akan dibahas hari itu yang diambil dari buku sumber yang telah disiapkan sebelumnya.

c) Membahas pokok materi yang telah dituliskan tadi. Dalam pembahasan materi itu dapat ditempuh dua cara yakni: (a) pembahasan dimulai dari gambaran umum materi pengajaran menuju kepada topik secara lebih khusus, (b) dimulai dari topik khusus menuju topik umum.

d) Pada setiap pokok materi yang dibahas sebaiknya diberikan contoh-contoh konkret. Demikian pula siswa harus diberikan pertanyaan atau tugas, untuk mengetahui tingkat pemahaman dari setiap pokok materi yang telah dibahas.

e) Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan setiap pokok materi sangat diperlukan.

f) Menyimpulkan hasil pembahasan dari pokok materi. Kesimpulan ini di-buat oleh guru dan sebaiknya pokok-pokoknya ditulis dipapan tulis untuk dicatat siswa. Kesimpulan dapat pula dibuat guru bersama-sama siswa, bahkan kalau mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa.

3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut

Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi atau penilaian dan tindak lanjut dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan tahapan ini ialah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari tahapan kedua (instruksional).

Ketiga tahap yang telah dibahas di atas, merupakan satu rangkaian kegiatan yang terpadu, tidak terpisahkan satu sama lain. Guru dituntut untuk mampu dan dapat mengatur waktu dan kegiatan secara fleksibel, sehingga ketiga rangkaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Di sinilah letak ke-

terampilan profesional dari seorang guru dalam melaksanakan strategi mengajar. Kemampuan mengajar seperti dilukiskan dalam uraian di atas secara teoretis mudah dikuasai, namun dalam praktiknya tidak semudah seperti digambarkan. Hanya dengan latihan dan kebiasaan yang terencana, kemampuan itu dapat diperoleh.