Kamis, 20 Mei 2010

Mengajar Dengan Mendongeng

Mengajar dengan mendongeng memang bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi jika para guru tidak memiliki bakat bertutur dan malas membaca, jelas mendongeng merupakan pekerjaan yang sulit. Tetapi jangan sesekali meremehkan efek dongeng terhadap tumbuh kembang anak, karena sebuah dongeng bahkan dapat ikut mempengaruhi karakter sebuah bangsa. Paling tidak itulah pendapat dari David McClelland dalam The Need for Achievement, ketika menyimpulkan bahwa dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada awal abad 16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pendengarnya dijangkiti penyakit butuh berprestasi. Cerita atau dongeng yang baik setidaknya akan membangkitkan motivasi anak untuk memiliki keinginan berprestasi, kemauan untuk bertahan hidup, dan kemauan untuk berkreasi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pertumbuhan ekonomi Inggris tumbuh dengan sangat mengesankan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

Bagaimana dengan dongeng-dongeng di negeri kita sendiri? Mungkin kita patut curiga mengapa, misalnya, setelah kurang lebih 63 tahun merdeka, Indonesia malah makin terpuruk, paling tidak jika indikatornya adalah banyaknya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Mungkinkah kondisi saat ini merupakan efek dari dongeng si kancil yang sering mencuri ketimun yang terkenal dan populer itu? Atau mungkinkah antara dongeng dan pemahaman agama masyarakat Indonesia tak berkorelasi sama sekali dengan realitas budaya kita? Pertanyaan-pertanyaan ini terasa relevan jika kita kaitkan dengan hasil riset McClelland di atas.

Edu teringat ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa ketika manusia dilahirkan ke muka bumi, maka dia tidak mengetahui sesuatu. Barulah kemudian secara bertahap Tuhan memberikan kita pendengaran (sam’a), penglihatan (abshar), dan hati (af’idah) untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Secara intrinsik kemampuan mendengar merupakan kemampuan pertama manusia yang diberikan oleh Tuhan, di mana sarana yang digunakan untuk dan agar kita dapat mencerna sebuah cerita atau kisah secara baik dan benar adalah pendengaran. Dengan demikian pendengaran merupakan media belajar paling penting, terutama dalam menuturkan kisah, cerita atau dongeng bagi siapa saja.

Jika diperhatikan dengan seksama selama 23 tahun masa pewahyuan al-Qur’an kepada Rasul Muhammad, maka terdapat kurang lebih 50% kandungan al-Qur’an berisi cerita-cerita yang perlu diperdengarkan ulang kepada siapa yang ingin kehidupannya selamat di dunia dan akhirat. Dalam bahasa al-Qur’an, Al-‘aqiba atau pelajaran ke belakang dengan cara belajar dari kesalahan umat-umat terdahulu merupakan ungkapan agar umat Islam selalu mau belajar dari cerita masa lalu. Dapatlah dipastikan bahwa Rasul Muhammad juga adalah seorang pencerita dan pendakwah yang baik.

Secara pedagogis, para guru dan pendidik harus yakin bahwa kemampuan bercerita atau mendongeng menjadi sebuah keniscayaan dalam setiap proses belajar mengajar. Kemampuan seorang guru dalam menarasikan setiap bahan ajar dengan proses bercerita yang menarik pasti akan mendapat respon yang positif dari setiap siswa. Unsur-unsur virus pengganggu untuk berprestasi sebagaimana disinggung tadi sangat mungkin terjadi, karena dongeng atau cerita merupakan salah satu alternatif media belajar di tengah hiruk pikuknya ragam tayangan dan games (permainan) yang membuat anak-anak terbius dan terpesona. Dongeng yang baik juga akan mampu menyampaikan pesan sosial secara langsung kepada seorang anak, selain alur ceritanya dapat membantu mengasah kemampuan emosional dan nalar anak-anak sekaligus. Belum lagi manfaat praktis dalam penguasaan kosa kata anak dalam berbahasa juga merupakan keuntungan lain dari sebuah dongeng atau cerita yang baik.

Bahkan sebagai sebuah metode pembelajaran yang efektif, bercerita, mendongeng, atau story telling juga memiliki peran yang siginifikan bagi proses perekrutan guru. Dalam sebuah micro-teaching process, kemampuan bercerita atau mendongeng seorang guru merupakan indikator utama dari beberapa indikator kelulusan lainnya. Karena itu amatlah wajar jika otoritas pendidikan kita dapat mempertimbangkan kemampuan mendongeng (story telling skills) sebagai salah satu syarat kelulusan seseorang untuk menjadi guru. Bahkan jika perlu kemampuan mendongeng ini juga dilatihkan kepada setiap guru pada masing-masing level, baik SD, SMP dan SMA yang ada sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar