Kamis, 20 Mei 2010

Etos Kerja Dan Profesional Guru

Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat.

Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a. Ilmu pengetahuan tertentu
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c. Berkaitan dengan kepentingan umum

Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru. Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.

1. Orientasi Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.

2. Orientasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
1. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.
2. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
3. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
4. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
5. Penetuan kode etik.
6. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.

3. Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi

4. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.

Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.

Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional.

Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Disinilah peran Perguruan Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, kecuali selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan sebaliknya.

Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung tinggi profesi harus mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat mengawal profesi guru tersebut.

TANTANGAN PROFESI GURU
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.

Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.

Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu.

Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.

Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.

(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.

Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.

Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.

Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya.

(Karsidi, 2004) Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.

Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.

Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.

Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar